Minggu, 29 November 2009

Pemerintah Terbitkan SKB 3 Menteri Tentang Pendidikan Agama

Jakarta, 23/11 (www.depag.go.id) - Guna menghindari kesalahpahaman penyelenggaraan pendidikan agama dan keagamaan direncanakan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Menteri Agama Suryadharma Ali dan Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh akan mengeluarkan surat keputusan bersama SKB) tentang pendidikan agama dan keagamaan.

SKB 3 menteri ini juga menjadi penting agar penyelenggaraan pendidikan agama dan keagamaan bisa memenuhi standar yang diharapkan, demikian dikemukakan Dirjen Pendidikan Islam Mohammad Ali pada acara sambung rasa dengan wartawan koordinatoriat Departemen Agama di Lembang, Bandung, akhir pekan lalu terkait dengan sosialisasi program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu jilid II.

Mohammad Ali mengatakan, pihaknya kerap didatangi para bupati dan anggota DPRD dari berbagai daerah terkait penyelenggaraan pendidikan agama dan keagamaan. "Ada niat kuat dari berbagai daerah untuk membantu, namun mereka ragu lantaran acuan aturannya belum jelas," ungkap Guru Besar UPI Bandung ini

Padahal, katanya, kepala daerah punya tanggung jawab yang sama untuk memajukan anak didik di daerahnya masing-masing. Anak didik yang ada di madrasah dan pondok pesantren itu kan anak-anak mereka juga. Namun karena aturannya masih dirasakan belum kuat, maka mereka merasa takut didatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ujarnya seraya menambahkan sebelum 100 hari, SKB itu sudah harus ada dan segera diberlakukan.

Dia mengharapkan dengan adanya SKB 3 menteri tersebut, para kepala daerah memperoleh kejelasan tentang penyelenggaraan pendidikan keagamaan di daerah masing-masing dan tidak sungkan-sungkan untuk memajukan pendidikan mereka. Selama ini sudah ada bantuan dari Pemda ke anak didik madrasah dan pesantren, tapi sifatnya masih berupa bantuan sosial yang jumlahnya sangat kecil dan insidentil, tandasnya.

Ia menjelaskan, pihaknya dalam program 100 hari ini juga sudah harus menyiapkan aturan dan syarat pendirian madrasah diniyah dan pondok pesantren, termasuk persyaratan ujian nasionalnya. Dengan cara itu, diharapkan ke depan kualitas pendidikan keagamaan di madrasah dan pondok pesantren akan semakin terangkat, ucapnya.

Acara sambung rasa wartawan Depag yang berlangsung 20-22 November 2009 juga diwarnai peninjauan ke Madrasah Aliyah Negeri 2 Bandung yang diterima Kepala MAN 2, Wawan Sofyan didampingi para guru di Aliyah ini. Diakui Wawan, masih ada anggapan keliru masyarakat tentang madrasah, bahwa siswanya hanya belajar agama

"Padahal Madrasah Aliyah sama dengan SMA mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) selain mempelajari ilmu keagamaan, sehingga para siswanya dapat memperoleh keterampilan yang dilandasi keimanan serta ketaqwaan kepada Allah SWT," kata Wawan.

Sementara pada kunjungan di kampus Universitas Islam Nusantara Bandung, disambut oleh Rektor Uninus Drs Didin Wahidin MPd, Ketua Badan Pengurus Yayasan Uninus, Letjen (purn) Achmad Roestandi, SH, dan Direktur Program Pascasarjana Prof Dr Achmad Sanusi.

"Uninus saat ini sedang merayakan milad (ulang tahun) ke 50, diselenggarakan pelbagai kegiatan," kata Achmad Roestandi yang pernah menjadi anggota Mahkamah Konstitusi ini. (ks)

http://pendis.depag.go.id/index.php?a=detilberita&id=4457

Madrasah Alami Diskriminasi Sejak Zaman Penjajahan Hingga Kini

Kapanlagi.com - Madrasah mengalami diskriminasi sejak zaman penjajahan Belanda dan masih terdiskriminasi hingga masa kemerdekaan saat ini.

Hal tersebut dinyatakan oleh Prof Dr Husni Rahim dalam Pidato Pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam bidang Pendidikan pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah di Jakarta, Sabtu (10/09).

"Kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan dan membatasi karena kekhawatiran akan munculnya militansi kaum muslimin terpelajar," ujarnya.

Wujud kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang menekan itu misalnya, tercermin dalam ordonansi guru pada 1905 kemudian diperbarui pada 1926 yang mewajibkan guru-guru agama memiliki surat izin mengajar.

Pengalaman penjajahan yang direpotkan perlawanan rakyat di Cilegon pada 1888 yang dikenal sebagai pemberontakan petani Banten, misalnya, dipengaruhi oleh kyai-kyai pesantren dan pemimpin tarekat menjadi pelajaran serius untuk menerbitkan peraturan tersebut.

Selain itu juga Ordonansi sekolah liar sejak 1932 yang dimaksudkan untuk mengawasi sekolah swasta yang diselenggarakan orang Indonesia dan Timur asing lainnya.

"Kebijakan itulah yang memicu madrasah dan pesantren mengisolir diri dari dunia luar dengan tetap mengajarkan pelajaran agama," katanya.

Setelah Indonesia merdeka, perhatian terhadap madrasah atau pendidikan Islam umumnya lebih meningkat.

Badan Pekerja Komite Indonesia Pusat (BPKIP), misalnya, menerbitkan maklumat tentang perlunya peningkatan pengajaran di madrasah.

Pada 1946 Kementerian Agama resmi berdiri yang antara lain bertugas mengurusi pendidikan agama di sekolah umum dan di sekolah agama (madrasah dan pesantren), ujarnya.

Sayangnya perhatian itu tak berlanjut dan tampak dari UU Pendidikan Nasional No 4/1950 jo UU No 12/1954 yang hanya memasukkan pendidikan agama di sekolah umum, namun soal madrasah dan pesantren tidak dimasukkan sama sekali, ujarnya.

Keppres No 34/1972 dan Inpres No 15/1974 oleh Presiden Soeharto juga dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dan pendidikan nasional yang memunculkan reaksi keras umat Islam.

Untuk meredam reaksi tersebut kemudian muncul Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yakni Menag, Mendikbud dan Mendagri pada 1975 yang mensejajarkan level madrasah dengan sekolah umum seperti Madrasah Ibtidaiyah yang setingkat dengan SD.

SKB itu juga menilai sama ijasah sekolah umum dan madrasah serta membuka peluang siswa madrasah sejajar dan bisa berpindah ke sekolah umum dan sebaliknya.

Namun konsekuensinya, lanjutnya, komposisi kurikulum madrasah 70 persen adalah mata pelajaran umum dan 30 persen pelajaran agama sehingga menambah beban siswa madrasah, di sisi lain 30 persen pelajaran agama termasuk bahasa Arab tak mencukupi lulusan madrasah menjadi calon ulama.

"Perlakuan diskriminatif tetap dirasakan ketika lulusan madrasah melanjutkan ke perguruan tinggi atau dunia kerja," katanya.

Perjuangan mendapat perlakuan sama dicapai ketika keluar UU No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di mana madrasah dianggap sebagai sekolah umum berciri khas Islam yang kurikulumnya sama persis dengan sekolah umum namun ditambah pelajaran agama Islam.

"Namun penerapan 100 persen kurikulum sekolah berakibat siswa madrasah dibebani lebih berat dibanding sekolah umum padahal fasilitas belajar lebih buruk, maka kualitas lulusan madrasah pun tidak maksimal dan serba tanggung," katanya.

UU Sisdiknas No 20/2003 sebenarnya semakin mengurangi ketimpangan yang ada dengan memasukkan pendidikan keagamaan dalam bagian tersendiri, namun demikian tetap sulit meningkatkan citra madrasah menjadi lebih tinggi.

"Sampai sekarang diskriminasi tetap terjadi, termasuk perhatian Pemda-pemda yang masih kurang, misalnya Pemda DKI yang hanya memberi tunjangan kepada guru sekolah agama Rp750 ribu (per tahun -red), sementara guru sekolah umum diberi tunjangan Rp1 juta," katanya. (*/lpk)

http://www.kapanlagi.com/newp/h/0000081622.html

Mendiknas: Tidak Ada Diskriminasi Kesempatan Pendidikan

05 November 2009 oleh Jardiknas

Jakarta, Selasa (3 November 2009)—Terjemahan dari pendidikan untuk semua (Education for All) dapat diartikan sebagai...

tidak adanya diskriminasi kesempatan pendidikan. Kebijakan non-diskriminasi ini mencakup kewilayahan, jenis pendidikan, maupun status sosial.

Hal tersebut disampaikan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh saat memberikan keterangan pers usai membuka Seminar Internasional dan Kunjungan Lapangan ke Madrasah di Indonesia oleh Negara-Negara E-9 di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (3/11/2009).

"Jangan sampai karena ada perbedaan wilayah kota dan desa maka seseorang tidak bisa sekolah. Tidak boleh (ada) diskriminasi (pendidikan) keagamaan dan umum. Gara-gara dia sekolah di madrasah, pemerintah tidak mengakui atau rakyat tidak mengakui. Tidak boleh itu," katanya.

Mendiknas mengatakan, pendidikan keagamaan dengan pendidikan umum sifatnya adalah komplementer dari sistem pendidikan secara keseluruhan. Menurut Mendiknas, perbedaan status sosial seseorang juga tidak boleh dijadikan alasan diskriminasi kesempatan pendidikan. "Intinya jangan karena ada perbedaan negeri dan swasta dan macam-macam menyebabkan seseorang tidak memiliki kesempatan untuk bersekolah," tegasnya.

Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali mengatakan, pendidikan keagamaan di Indonesia merupakan subsistem dari pendidikan nasional. Menag menyebutkan, saat ini terdapat lebih dari enam juta anak usia sekolah yang belajar di madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, dan madrasah aliyah tersebar di lebih dari 58.000 madrasah. "Lebih dari itu, jutaan pelajar menempuh pendidikan baik di pondok pesantren maupun sekolah tinggi Islam," katanya.

Menag menyampaikan, model pendidikan di madrasah dianggap unik oleh negara-negara E-9 yang beranggotakan sembilan negara berpenduduk terbesar di dunia. Negara-negara itu adalah Bangladesh, Brazil, Cina, India, Indonesia, Meksiko, Mesir, Nigeria, dan Pakistan.

"Mereka sangat tertarik pada pendidikan yang disebut madrasah. Ada keunikan menurut pandangan mereka terhadap madrasah di Indonesia," katanya.

Menag mengatakan, penyelenggaraan pendidikan di madrasah mengacu pada standar nasional pendidikan yaitu pada kurikulum, infrastruktur, pendidik dan staff , manajemen, pengelolaan keuangan, dan sistem evaluasi."Namun demikian, pendidikan madrasah lebih banyak mengintegrasikan pendidikan keagamaan dibandingkan sistem pendidikan lainnya," katanya.

Menteri Pendidikan Nigeria Hajiya Aishatu Jibril Duku menyatakan ketertarikannya terhadap pendidikan madrasah di Indonesia. "Saya senang dapat mengunjungi beberapa madrasah di Indonesia untuk melihat bagaimana pembangunan infrastrukturnya dan dapat mengambil manfaat dari pengalaman Indonesia," katanya.

Hajiya menyebutkan, Nigeria berpenduduk 140 juta orang dan 24,6 juta diantaranya adalah pelajar sekolah dasar. Sementara, kata dia, sebanyak 10 juta belajar di pendidikan Islamiyah. Dia mengatakan, pemerintah Nigeria saat ini mengembangkan pendidikan ke-Islaman dan mendukung transformasi sekolah tradisional menjadi sekolah modern.

Ketua Pelaksana Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO Arief Rahman menyampaikan, beberapa wakil dari negara E-9 yaitu Nigeria, Pakistan, dan India, akan mengadakan kunjungan ke Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia di Serpong, Banten, Pondok Pesantren Al Masturiyah di Sukabumi, Jawa Barat, dan Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Beberapa negara lain yang turut dalam kunjungan ini adalah Amerika, Filiphina, Malaysia, dan Afghanistan.
Sumber:
http://disdik.sumutprov.go.id/berita.php?idb=11

MEMBEDAH AKAR MASALAH MADRASAH

Oleh: Silfia Hanani


Tulisan Hilmi Muhammadiyah pada 5 Januari 2007 di bawah tajuk Mengakhiri Diskrimininasi Terhadap Madrasah sebanarnya bukanlah sebuah isu yang baru, tetapi isu lama yang tidak pernah teselesaikan sehingga madrasah berlarut-larut dalam masalahnya sendiri.
Permasalahan itu menurut Hilmi sebagai akibat daripada adanya hegemoni kekuasaan, pertama terlihat melalui aturan main kurikulum madrasah yang “banci” dan kedua melalui pembiayaan madrasah yang bertendensi dikhotomi jika dibandingkan dengan sekolah umum.
Keadaan yang demikian menjadikan madrasah tumbuh dan berkembang ibarat pepatah hidup segan mati tak mau. Dalam kondisi seperti ini, betulkah hegemoni kekuasaan dan dikhotomi kebijakan sebagai penyebab “runtuhnya” kualitas madrasah? Menjawab permasalahan ini perlu dilakukan pendekatan ruang-waktu, sehingga ditemukan varian-varian lain yang ikut dominan penyebab terperlesetnya mutu madrasah.
Di Indonesia sebelum populer madrasah telah berkembang institusi pendidikan Islam lokal yang independen. Di Minangkabau misalnya, telah muncul institusi pendidikan Islam surau, di pulau Jawa lebih populer pondok pesantren. Institusi pendidikan Islam lokal tersebut, telah berhasil memembangun sumber daya umat Islam pada zamannya. Tetapi ketika datangnya kolonialisme memperkenalkan sistem pendidikan modren, institusi lokal mulai buyar dan mulai dipandang sebagai institusi pendidikan kelas dua oleh masyarakat.
Setidaknya ada dua permasalahan yang membuyarkan, pertama pendidikan Islam lokal yang independen itu lebih bersifat tekstual, sementara alam kehidupan berkembang dengan begitu cepat, perkembangan itu selalu menuntut kearah penguasaan materialisme. Konsep penguasaan “materialisme” inilah yang kurang dalam institusi pendidikan Islam ketika itu. Fenomena yang demikian oleh kolonialisme dijelaskan dengan Islam ortodok, Umat Islam yang tidak mau memberikan ruang hidupnya kepada dimensi kompetisi dunia. Disinilah awal kekalahan teori pendidikan umat Islam dalam penguasaan dunia, sehingga dalam rentang waktu yang begitu mensejarah di negara ini tidak lahir teori-teori lokal yang berasaskan Islam tentang penguasaan material ini. Akhirnya berpengaruh terhadap keberadaan sekolah agama. Sekolah agama diorientasikan sekolah “akhirat”, image semacam itu berkembang luas dalam masyarakat Indonesia yang mengalami perubahan besar.
Kedua, pengelolaan madrasah yang stagnan dan tidak mampu meracik sistem reinventing, sehingga madrasah tidak mampu mengikuti perubahan masyarakat yang begitu cepat dan kompleks. Baru sekitar awal abad 19 setelah kembalinya para pelajar Indonesia menuntut ilmu di beberapa negara Timur Tengah termasuk di Mesir, institusi pendidikan Islam mulai diperbaharui dengan cara mengadopsi sistem pendidikan Timur Tengah tersebut, sehingga madrasah menjadi populer. Madrasah berkembang di berbagai kawasan di Indonesia, di Sumatera Barat waktu itu ikon madrasah dipegang oleh Sumatera Thawalib, Diniyah Putra dan Putri.
Namun setelah Indonesia merdeka, institusi-institusi pendidikan Islam ini memasuki dunia politik, pasang surut kualitas madrasah semakin tampak. Jati diri madrasah terombang ambing kedalam dua kepentingan yang tidak berkesudahan, antara kepentingan politik dan umat. Tarik menarik dua kepentingan ini, nampaknya ikut memberikan peluang tidak bergimingnya madrasah sebagai agent transformasi sosial umat Islam di Indonesia, sementara sekolah-sekolah umum yang modern semakin menampakkan jati dirinya seperti yang dipersepsikan oleh masyarakat sebagai penyelamat dunia material. Imege terhadap madrasah mulai berkurang, masyarakat lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah umum ketimbang ke madrasah.
Keadaan kualitas madrasah yang tidak stabil itu akahirnya masuk dalam cakrawala nasional, sehingga madrasah menjadi objek dalam sistem pendidikan nasional. Oleh sebab itulah, terjadi perubahan-perubahan kurikulum dalam madrasah. Madrasah mulai menghadapi kurikulum keberimbangan, antara pendidikan umum dan pendidikan agama, kemudian dipercepatlah menjadi 70% pendidikan umum dan 30% pendidikan agama, dengan tujuan untuk memicu lari mutu madrasah dan skaligus untuk menghilangkan stigma masyarakat yang memandang madrasah sebagai kelas pendidikan nomor dua.
Dibalik pergerakan perubahan itu, apa sesungguhnya yang terjadi. Mutu madrasah tetap saja berjalan ditempat. Malah madrasah kehilangan jati dirinya sebagai institusi yang fokus dengan pendidikan Islam. Untuk mengkonter kondisi tersebut maka lahirlah madrasah khusus, terutama pada tingkat aliyah, yang fokus dengan pendidikan agama Islam. Namun, madrasah-madrasah yang setengah umum dan setengah agama tetap berada dalam muara kebingungan dan jati dirinya yang tidak jelas.

Membebaskan Madrasah
Menilik daripada perjalanan jatuh bangunnya madrasah dalam pentas pendidikan di Indonesia, sebuah kesimpulan yang perlu di bebaskan adalah kultur madrasah yang soft culture, yaitu adanya sebuah budaya kelemahkarsaan dalam membangun jati dirinya, sehingga madrasah terombang ambing dalam kecepatan perubahan yang terjadi.
Sesungguhnya Departemen Agama yang pada umumnya sebagai pemilik madrasah sudah harus mempunyai ruang wacana yang konstruktif ke arah mana madrasah ini digiring sehingga madrasah mampu tampil dengan jati dirinya yang sesungguhnya, tidak bermain dalam “ikut-ikutan”, seperti yang terlihat selama ini.
Permasalahan mutu, harus dilihat secara holistik, tidak hanya dilihat dari segi minimnya dana pendidikan yang dikucurkan pemerintah tetapi juga harus dilihat dari peta “dalam” yang berlaku dalam madrasah. Penglihatan peta dalam ini, yang paling urgen tentang bagaimana madrasah berkontestasi selama ini perlu dicerna oleh Depertemen Agama.

Sumber:
http://silfiahananisyafei.blogspot.com/2007/03/membedah-akar-masalah-madrasah.html

Menag: Kualitas Madrasah masih Rendah

JAKARTA--Menteri agama Suryadharma Ali menegaskan bahwa sejumlah hal yang dihadapi oleh bidang pendidikan agama dan keagaamaan antara lain adalah masih rendahnya kualitas dan daya saing madrasah dan perguruan tinggi agama dalam memberikan layanan pendidikan. Ini ditegaskan Menag di Jakarta kemarin.

''Juga belum optimalnya layanan pendidikan agama, masih rendahnya kualifikasi dan profesionalisme tenaga pendidik dan kependidikan,'' papar Menag. Selain itu menurut Menag, masih rendahnya mutu lulusan madrasah dan perguruan tinggi agama dan rendahnya mutu pengelolaan pendidikan agama dan keagamaan.

Program 100 hari

Dikatakan Menag, dalam program 100 hari jajaran Depag, antara lain adalah menyiapkan kebijakan pendidikan di pesantren dan madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. ''Kegiatan yang dilakukan adalah menyiakan kebijakan pengelolaan pendidikan di pondok pesantren dan madrasah,'' tanas Menag.

Selain itu menurut Menag, menyiapkan kebijakan pengelolaan pendidikan di pondok pesantren dan madrasah secara terintegrasi dengan pendidikan di sekolah dan pendidikan agama dalam kontels otonomi daerah. osa/taq

Jumat, 13 November 2009 pukul 15:23:00
Sumber:
http://www.republika.co.id/berita/89175/Menag_Kualitas_Madrasah_masih_Rendah

Rabu, 04 November 2009

“JENIS JENIS PHOBIA”

Takut Air – Hydrophobia,
Takut Agama – Theologicophobia,
Takut Alat Kelamin – Kolpophobia,
Takut Aliran Udara – Aerophobia,
Takut Alkohol – Methyphobia,
Takut Alkohol – Potophobia,
Takut Amnesia – Amnesiphobia,
Takut Anggur – Oenophobia,
Takut Angin – Ancraophobia,
Takut Angka – Arithmophobia,
Takut Angka 13 – Triskaidekaphobia,
Takut Angka 8 – Octophobia,
Takut Anjing – Cynophobia,
Takut Anjing Laut – Lutraphobia,
Takut Anus – Rectophobia,
Takut Api – Arsonphobia,
Takut Api – Pyrophobia,
Takut Awan – Nephophobia,
Takut Ayam – Alektorophobia,
Takut Ayan – Hylephobia,
Takut Badut – Coulrophobia,
Takut Bahan Kimia - Chemophobia,
Takut Bangunan Tinggi – Batophobia,
Takut Banjir – Antlophobia,
Takut Bapak Tiri – Vitricophobia,
Takut Batu Nisan – Placophobia,
Takut Bau Badan – Bromidrosiphobia,
Takut Bau Bauan – Olfactophobia,
Takut Bau Busuk – Autodysomophobia,
Takut Bawa Mobil - Amaxophobia,
Takut Bawang Putih – Alliumphobia,
Takut Bayangan – Sciaphobia,
Takut Bebas – Eleutherophobia,
Takut Belanda – Dutchphobia,
Takut Benang – Linonophobia,
Takut Benda di Sebelah Kanan – Dextrophobia,
Takut Benda di Sebelah Kiri – Levophobia,
Takut Berantakan – Ataxophobia,
Takut Berbicara – Laliophobia,
Takut Bercinta – Malaxophobia,
Takut Bercinta – Sarmassophobia,
Takut Berdosa – Hamartophobia,
Takut Berfikir – Phronemophobia,
Takut Berita Baik – Euphobia,
Takut Berjalan – Stasibasiphobia,
Takut Berjanji – Enissophobia,
Takut Berkotbah – Homilophobia,
Takut Berlarut – Apeirophobia,
Takut Bersenggama – Coitophobia,
Takut Bertanggung Jawab – Hypegiaphobia,
Takut Binatang – Zoophobia.
Takut Binatang Liar – Agrizoophobia,
Takut Binatang Melata – Herpetophobia,
Takut Bintang – Astrophobia,
Takut Bintang – Siderophobia,
Takut Bintang Berekor – Cometophobia,
Takut Bom Atom – Atomosophobia,
Takut Boneka – Pediophobia,
Takut Boneka Bersuara Perut – Automatonophobia,
Takut Bosan – Xerophobia,
Takut Botak – Phalacrophobia,
Takut Buang Air Besar – Rhypophobia,
Takut Buku – Bibliophobia,
Takut Bulan – Selenophobia,
Takut Bulu Ayam – Pteronophobia,
Takut Bunga – Anthophobia,
Takut Bunga Es – Pagophobia,
Takut Bungkuk – Kyphophobia,
Takut Burung – Ornithophobia,
Takut Buta – Scotomaphobia,
Takut Cabut Gigi – Odontophobia,
Takut Cacing – Helminthophobia,
Takut Cacing – Scoleciphobia,
Takut Cacing Pita – Taeniophobia,
Takut Cacing Pita Babi – Trichinophobia,
Takut Cahaya – Photophobia,
Takut Cahaya dari Utara – Auroraphobia,
Takut Caplak – Phthiriophobia,
Takut Cemburu – Zelophobia,
Takut Cermin – Catoptrophobia,
Takut Cina – Sinophobia,
Takut Corak Baru - Cainophobia
Takut Daerah Perbatasan – Claustrophobia,
Takut Daging – Carnophobia,
Takut Dagu – Geniophobia,
Takut Danau – Limnophobia,
Takut Darah – Hemaphobia,
Takut Debu – Amathophobia,
Takut Debu – Koniophobia,
Takut Demam – Febriphobia,
Takut Demam – Fibriophobia,
Takut Demo – Daemonophobia,
Takut dengan Seks – Erotophobia,
Takut Dewa – Zeusophobia,
Takut Di dalam Rumah – Oikophobia,
Takut di Ejek – Katagelophobia,
Takut di Hipnotis – Hynophobia,
Takut Di pandang – Opthalmophobia,
Takut Diabaikan – Athazagoraphobia,
Takut Dibatasi – Merinthophobia,
Takut Dibenci – Melophobia,
Takut Dicekik – Pnigophobia,
Takut Dicuri – Cleptophobia,
Takut Dihukum – Mastigophobia,
Takut Dihukum Berat – Rhabdophobia,
Takut Dikubur Sendirian – Taphephobia,
Takut Diluar Ruangan – Spacephobia,
Takut Dingin – Cheimaphobia,
Takut Dingin – Psychrophobia,
Takut Dinilai Negatif – Socialphobia,
Takut Diracun – Toxicophobia,
Takut Dirampok – Harpaxophobia,
Takut Disentuh – Aphenphosmphobia,
Takut Disentuh - Chiraptophobia,
Takut Disentuh – Haphephobia,
Takut Disuntik – Trypanophobia,
Takut Ditatap – Scopophobia,
Takut Ditertawakan – Catagelophobia,
Takut Ditinggal Sendiri – Eremophobia,
Takut Dokter Gigi – Dentophobia,
Takut Dubur – Proctophobia,
Takut Duduk – Cathisophobia,
Takut Duduk – Taasophobia,
Takut Duduk di Bawah – Kathisophobia,
Takut Emas – Aurophobia,
Takut Es Batu – Cryophobia,
Takut Fenomena Kosmis – Kosmikophobia,
Takut Filosofi – Philosophobia,
Takut Gagal – Atychiphobia,
Takut Gagap – Psellismophobia,
Takut Gatal – Acarophobia,
Takut Gatal – Pellagrophobia,
Takut Gedung Pertunjukan – Theatrophobia,
Takut Gelap – Achluophobia,
Takut Gelap – Lygophobia,
Takut Gelas – Hyelophobia,
Takut Gelombang – Kymophobia,
Takut Gembira – Cherophobia,
Takut Gerakan – Kinetophobia,
Takut Gereja – Ecclesiophobia,
Takut Getaran – Tremophobia,
Takut Gravitasi – Barophobia,
Takut Guntur – Ceraunophobia,
Takut Halloween – Samhainophobia,
Takut Hamil – Tocophobia,
Takut Hantu – Bogyphobia,
Takut Hantu – Phasmophobia,
Takut Hantu – Spectrophobia,
Takut Hujan – Ombrophobia,
Takut Hujan – Pluviophobia,
Takut Hukum – Dikephobia,
Takut Hukuman – Poinephobia,
Takut Hutan – Hylophobia,
Takut Hutan – Xylophobia,
Takut Hutan di Malam Hari – Nyctophobia,
Takut Ibu Tiri – Novercaphobia,
Takut Ide – Ideophobia,
Takut Ide Baru – Cenophobia,
Takut Ikan – Ichthyophobia,
Takut Inggris – Anglophobia,
Takut Insektisida – Entomophobia,
Takut Istilah Latin – Hellenologophobia,
Takut Jadi Gila – Lysssophobia,
Takut Jadi Homoseks – Homophobia,
Takut Jahudi – Judeophobia,
Takut Jalan – Ambulophobia,
Takut Jamur – Mycophobia,
Takut Jarum – Aichmophobia,
Takut Jatuh - Basiphobia
Takut Jatuh Cinta – Philophobia,
Takut Jelek – Cacophobia,
Takut Jembatan Penyeberangan – Gephydrophobia,
Takut Jenggot – Pogonophobia,
Takut Jenis Kelamin Berbeda – Heterophobia,
Takut Jepang – Japanophobia,
Takut Jerman – Germanophobia,
Takut Jerman – Teutophobia,
Takut Jomblo – Anuptaphobia,
Takut Jum’at ke 13 – Paraskavedekatriaphobia,
Takut Kabut – Homichlophobia,
Takut Kacang – Arachibutyrophobia,
Takut Kaget – Hormephobia,
Takut Kain Lap – Vestiphobia,
Takut Kain Satin – Satanophobia,
Takut Kalah – Kakorrhaphiophobia,
Takut Kanker - Carcinophobia,
Takut Kanker – Cancerophobia,
Takut Kata Kata – Logophobia,
Takut Kata Kata – Verbophobia,
Takut Kata Panjang – Hippopotomonstrosesquippedaliophobia,
Takut Kata yang Panjang – Sesquipedalophobia,
Takut Katak – Ranidaphobia,
Takut Kaya – Plutophobia,
Takut Ke Sekolah – Didaskaleinophobia,
Takut Kecelakaan – Dystychiphobia,
Takut Kedalaman – Bathophobia,
Takut Kedokter – Iatrophobia,
Takut Kegelapan – Myctophobia,
Takut Kegelapan – Scotophobia,
Takut Kejatuhan Benda – Atephobia,
Takut Kekacauan – Demophobia,
Takut Kelahiran – Parturiphobia,
Takut Kelainan Bentuk – Dysmorphophobia,
Takut Kelamin Wanita – Eurotophobia,
Takut Kemajuan – Prosophobia,
Takut Kembali ke Rumah – Nostophobia,
Takut Kembung – Anginophobia,
Takut Kencing – Urophobia,
Takut Keramaian – Agoraphobia,
Takut Kerang-Kerangan – Ostraconophobia,
Takut Kereta Api – Diderodromophobia,
Takut Keriput – Rhytiphobia,
Takut Kerja Berlebihan – Ponophobia,
Takut Kertas – Papyrophobia,
Takut Kesakitan – Agliophobia,
Takut Ketinggian – Altophobia,
Takut Ketinggian – Hypsiphobia,
Takut Ketularan – Tapinophobia,
Takut Keturunan – Patroiophobia,
Takut Kezaliman – Tyrannophobia,
Takut Kilat – Brontophobia,
Takut Kodok – Bufonophobia,
Takut Komputer – Cyberphobia,
Takut Komputer – Logizomechanophobia,
Takut Kotor – Automysophobia,
Takut Kotoran – Myxophobia,
Takut Kriminal – Peccatophobia,
Takut Kristal – Crystallophobia,
Takut Kuburan – Coimetrophobia,
Takut Kucing – Ailurophobia,
Takut Kucing – Elurophobia,
Takut Kucing – Felinophobia,
Takut Kuda – Equinophobia,
Takut Kuda – Hippophobia,
Takut Kulit Binatang – Doraphobia,
Takut Kuman – Spermatophobia,
Takut Kunci - Chronomentrophobia,
Takut Kutu – Pediculophobia,
Takut Laba Laba – Arachnophobia,
Takut Laki Laki – Androphobia,
Takut Laki Laki – Arrhenophobia,
Takut Lampu Sorot – Selaphobia,
Takut Laut – Thalassophobia,
Takut Lawan Jenis – Sexophobia,
Takut Lebah – Apiphobia,
Takut Lecet – Amychophobia,
Takut Lelah – Kopophobia,
Takut Lembab – Hygrophobia,
Takut Lengket di Langit Mulut – Arachibutyrophobia,
Takut Listrik – Enochlophobia,
Takut Logam – Metallophobia,
Takut Lompat – Catapedaphobia,
Takut Luka – Dematophobia,
Takut Luka – Traumatophobia,
Takut Lumpuh – Poliosophobia,
Takut Lumpur – Blennophobia,
Takut Lutut - Genuphobia,
Takut Mabuk Udara – Aeronausiphobia,
Takut Makan – Phagophobia,
Takut Makan – Sitiophobia,
Takut Makanan - Cibophobia,
Takut Makanan – Sitophobia,
Takut Mal Praktek – Ergasiophobia,
Takut Malam – Noctiphobia,
Takut Maling – Scelerophobia,
Takut Mandek – Ankylophobia,
Takut Mandi - Ablutophobia,
Takut Marah – Angrophobia,
Takut Masak – Mageirocophobia,
Takut Mata Kabur – Diplophobia,
Takut Mata Mata – Ommatophobia,
Takut Matahari – Heliophobia,
Takut Matahari - Phengophobia,
Takut Mati – Necrophobia,
Takut Mati – Thantophobia,
Takut Melahirkan – Lockiophobia,
Takut Melahirkan – Maieusiophobia,
Takut Melarat - Peniaphobia
Takut Melihat Massa – Ochlophobia,
Takut Membelakangi – Dishabiliophobia,
Takut Membuat Keputusan – Decidophobia,
Takut Membuat Perubahan – Tropophobia,
Takut Membuka Satu Mata – Optophobia,
Takut Membusuk – Seplophobia,
Takut Menari - Chorophobia,
Takut Mencium – Philemaphobia,
Takut Mendengar Kata Tertentu – Onomatophobia,
Takut Menderita – Panthophobia,
Takut Menganggur – Domatophobia,
Takut Mengingat – Mnemophobia,
Takut Menikah – Gamophobia,
Takut Menjadi Sakit – Nosemaphobia,
Takut Menstruasi – Monophobia,
Takut Menua – Gerascophobia,
Takut Menulis di Papan – Scriptophobia,
Takut Menunggu Lama – Macrophobia,
Takut Menyeberang – Agyrophobia,
Takut Menyeberang Jalan – Dromophobia,
Takut Merasa Nyaman – Hedonophobia,
Takut Mertua – Pentheraphobia,
Takut Mertua – Soceraphobia,
Takut Mesin – Mechanophobia,
Takut Meteor – Meterorophobia,
Takut Mikroba – Bacillophobia,
Takut Mikroba – Microbiophobia,
Takut Milik – Orthophobia,
Takut Mimisan – Epistaxiophobia,
Takut Mimpi – Oneirophobia,
Takut Mimpi Basah – Oneirogmophobia,
Takut Minum Obat – Pharmacophobia,
Takut Minuman – Dipsophobia,
Takut Mitos – Mythophobia,
Takut Mobil – Motorphobia,
Takut Monster – Teratophobia,
Takut Mukanya Merah – Ereuthophobia,
Takut Mulut Kejang – Tetanophobia,
Takut Muntahan – Emetophobia,
Takut Naik Mobil – Ochophobia,
Takut Naik Pesawat – Aerophobia,
Takut Naik Pesawat – Aviophobia,
Takut Nama Nama – Namatophobia,
Takut Neraka – Hadephobia,
Takut Neraka – Stigiophobia,
Takut Ngaca – Eisoptrophobia,
Takut Ngaceng – Ithypallophobia,
Takut Ngebut – Tachophobia,
Takut Ngengat – Mottophobia,
Takut Noda – Rupophobia,
Takut Nomer – Numerophobia,
Takut Nyeri – Algophobia,
Takut Nyeri – Odynephobia,
Takut Obat Baru – Neopharmaphobia,
Takut Ombak – Cymophobia,
Takut Operasi – Tomophobia,
Takut Orang Asing – Xenophobia,
Takut Orang Asing – Xenophobia,
Takut Orang Botak – Peladophobia,
Takut Orang Buntung - Apotemnophobia,
Takut Orang Suci – Hagiophobia,
Takut Otot Gerak Sendiri – Ataxiophobia,
Takut Panas – Thermophobia,
Takut Parasit – Parasitophobia,
Takut Paus – Papaphobia,
Takut Pelecehan Seksual – Agraphobia,
Takut Pelecehan Seksual – Contreltophobia,
Takut Peluru – Ballistophobia,
Takut Pembicaraan Dinner – Deipnophobia,
Takut Pemerkosa – Virginitiphobia,
Takut Pendapat – Allodoxaphobia,
Takut Pendeta – Hierophobia,
Takut Pengemis – Hobophobia,
Takut Pengetahuan – Epistemphobia,
Takut Pengetahuan – Gnosiophobia,
Takut Penis – Phallophobia,
Takut Penis Berdiri – Medorthophobia,
Takut Penis Loyo – Medomalacuphobia,
Takut Penyakit – Pathophobia,
Takut Penyimpangan Seks – Paraphobia,
Takut Peralatan Listrik – Electrophobia,
Takut Perancis – Francophobia,
Takut Perjalanan – Hodophobia,
Takut Perkara Hukum – Liticaphobia,
Takut Perubahan – Metathesiophobia,
Takut Petir – Astrapophobia,
Takut Pikiran – Psychophobia,
Takut Pin – Balenephobia,
Takut Pin – Enetophobia,
Takut Pingsan – Ashenophobia,
Takut Pohon – Dendrophobia,
Takut Politikus – Politicophobia,
Takut Pria – Hominophobia,
Takut Puisi – Mertophobia,
Takut Pusaran Air – Dinophobia,
Takut Rabies – Hydrophobophobia,
Takut Rabies – Kynophobia,
Takut Racun – Iophobia,
Takut Racun - Toxiphobia
Takut Rambut – Chaetophobia,
Takut Rambut – Trichopathophobia,
Takut Rasa – Geumaphobia,
Takut Rayap – Isopterophobia,
Takut Reptil - Batrachophobia,
Takut Reptil – Herpetophobia,
Takut Ruang Kosong – Cenophobia,
Takut Ruangan – Koinoniphobia,
Takut Ruangan Kosong – Kenophobia,
Takut Rumah – Ecophobia,
Takut Rumah Sakit – Nosocomephobia,
Takut Rusia – Russophobia,
Takut Sakit Demam – Pyrexiophobia,
Takut Sakit Diabetes – Diabetophobia,
Takut Sakit Ginjal – Albuminurophobia,
Takut Sakit Jantung – Cardiophobia,
Takut Sakit Jiwa – Dementophobia,
Takut Sakit Jiwa – Maniaphobia,
Takut Sakit Kelamin – Cyprianophobia,
Takut Sakit Kolera - Cholerophobia,
Takut Sakit Kulit – Dermatophathophobia,
Takut Sakit Kusta – Leprophobia,
Takut Sakit Otak – Meningitiophobia,
Takut Sakit Syphilis – Syphilophobia,
Takut Sakit Syphillis – Luiphobia,
Takut Salib – Staurophobia,
Takut Salju – Chionophobia,
Takut Sama Gadis – Parthenophobia,
Takut Sapi Jantan – Taurophobia,
Takut Saudara – Syngenesophobia,
Takut Sayuran – Lachanophobia,
Takut Segala Sesuatu – Polyphobia,
Takut Segalanya – Panophobia,
Takut Sekitar Rumah – Eicophobia,
Takut Sekitar Rumah – Oikophobia,
Takut Sekolah – Scoionophobia,
Takut Seks – Genophobia,
Takut Semangat – Pneumatiphobia,
Takut Semut – Myrmecophobia,
Takut Sendiri – Isolophobia,
Takut Sendirian – Autophobia,
Takut Sendirian – Monophobia,
Takut Senjata Api – Hoplophobia,
Takut Senjata Nuklir – Nucleomituphobia,
Takut Sepeda – Cyclophobia,
Takut Serangga – Epistaxiophobia,
Takut Serangga – Insectophobia,
Takut Seruling – Aulophobia,
Takut Sesuatu dari Kiri – Sinistrophobia,
Takut Sesuatu yang Baru – Kainolophobia,
Takut Sesuatu yang Baru – Neophobia,
Takut Sesuatu yang Besar – Megalophobia,
Takut Sesuatu yang Kecil – Microphobia,
Takut Silau – Photoaugliaphobia,
Takut Simbol – Symbolophobia,
Takut Simetris – Symmetrophobia,
Takut Sinar X – Radiophobia,
Takut Situasi yang Menakutkan – Counterphobia,
Takut Skabies – Scabiophobia,
Takut Suara – Acousticophobia,
Takut Suara Keras – Ligyrophobia,
Takut Suara Telpon – Phonophobia,
Takut Subuh – Eosophobia,
Takut Sungai – Potamophobia,
Takut Surga – Ouranophobia,
Takut Surga – Uranophobia,
Takut Susah Be’ol – Coprastasophobia,
Takut Tabuhan – Spheksophobia,
Takut Tai – Coprophobia,
Takut Takut Anak Anak – Pedophobia,
Takut Tali – Cnidophobia,
Takut Tambah Berat – Obesophobia,
Takut Tambah Berat – Pocrescophobia,
Takut Tanaman – Batonophobia,
Takut Tangga – Climacophobia,
Takut Tanggung Jawab – Paralipophobia,
Takut Tantangan – Heresyphobia,
Takut Tawon – Melissophobia,
Takut TBC – Phthisiophobia,
Takut TBC – Tuberculophobia,
Takut Tebing – Cremnophobia,
Takut Teknologi – Technophobia,
Takut Tekstur Tertentu – Textophobia,
Takut Telanjang – Gymnophobia,
Takut Telanjang – Nudophobia,
Takut Telpon – Telephophobia,
Takut Tempat Sempit – Stenophobia,
Takut Tempat Terbuka – Agoraphobia,
Takut Tempat Tertentu – Topophobia,
Takut Tempat Tertutup – Claustrophobia,
Takut Tempat Tinggi Terbuka – Aeroacrophobia,
Takut Terbahak – Geliophobia,
Takut Terbang – Pteromerhanophobia,
Takut Tergantung pada Orang – Soteriophobia,
Takut Terkontaminasi Debu – Misophobia,
Takut Terkunci – Cleisiophobia,
Takut Tidak Sempurna – Atelophobia,
Takut Tidak Simetris – Asymmetriphobia,
Takut Tidur – Clinophobia,
Takut Tidur – Somniphobia,
Takut Tikus – Murophobia,
Takut Tikus – Suriphobia,
Takut Tikus Besar – Zemmiphobia,
Takut Tornado – Lilapsophobia,
Takut Tuhan – Theophobia,
Takut Tulisan Tangan – Graphophobia,
Takut Tuma – Verminophobia,
Takut Uang - Chrematophobia,
Takut Ujian – Tertaphobia,
Takut Ular – Ophidiophobia,
Takut Ular – Snakephobia,
Takut Upacara Seremonial – Teleophobia,
Takut Vaksinasi – Vaccinophobia,
Takut Vertigo – Illyngophobia,
Takut Waktu - Chronophobia,
Takut Wangi-Wangian – Osphesiophobia,
Takut Wanita – Gynephobia,
Takut Wanita Cantik – Caligynephobia,
Takut Wanita Cantik – Venustraphobia,
Takut Wanita Sihir – Vitricophobia,
Takut Warga – Anthropophobia,
Takut Warna - Chromatophobia,
Takut Warna Hitam – Melanophobia,
Takut Warna Kuning – Xanthophobia,
Takut Warna Putih – Leukophobia,
Takut Warna Ungu – Porphyrophobia,
Takut Wayang – Pupaphobia.